Platform media sosial populer seperti Facebook danYouTube belakangan ini banyak diterpa kontroversi menyangkut banyaknya peredaran “konten beracun” (toxic) yang tak pantas dikonsumsi.
Hal tersebut rupanya menjadi perhatian khusus bagi Unilever selaku pemilik aneka merek produk yang giat beriklan lewat jalur digital.
Salah satu pengiklan terbesar di jagat maya itu belakangan bahkan mengancam bakal menarik iklan-iklan mereka dari media sosial, apabila para pengelolanya tak berupaya lebih maksimal untuk menekan peredaran konten tak layak.“Berita palsu, rasisme, seksisme, teroris menyebarkan pesan kebencian, konten beracun yang diarahkan ke anak-anak -apa yang kita temui di internet sekarang melenceng jauh dari harapan,” ujar Chief Marketing Officer Keith Weed, mencontohkan perkara konten-konten bermasalah di medsos.
“Industri media digital harus mendengarkan dan mengambil tindakan,” lanjut Weed, sebagaimana dirangkum dari LA Times, Rabu (14/2/2018).
Tahun lalu, Unilever membelanjakan 9,5 miliar dollar AS (sekitar Rp 129 triliun) untuk mempromosikan berbagai merek miliknya, mulai dari teh Lipton, sabun Dove, hingga es krim Ben & Jerry’s.
Sebanyak 2,4 miliar dollar AS (Rp 3,2 triliun) dari budget promosi tersebut dihabiskan untuk iklan digital.
Google dan Facebook diketahui sebagai pemain terbesar di ranah tersebut. Keduanya diperkirakan menguasai 84 persen dari pasaran iklan online tahun lalu.
Artinya, Google dan Facebook berpotensi kehilangan pendapatan miliaran dollar AS apabila Unilever benar-benar menarik iklannya dari dunia digital.
Lebih lanjut, Weed mengatakan bahwa 2018 “Akan menjadi tahun ‘techlash’ di mana dunia berbalik melawan para raksaa teknologi -beberapa contohnya sudah terjadi - atau tahun kepercayaan, tahun di mana kita bisa membangun kembali kepercayaan secara kolektif terhadap sistem dan masyarakat.”Menanggapi ancaman Weed, pihak Google dan Facebook masing-masing menyatakan mengerti kekhawatiran Unilever terkait konten tak pantas, dan akan berupaya kerja sama untuk menemukan solusi.
Unilever kini sudah memulai diskusi dengan kedua raksasa internet itu, juga dengan para pengelola media sosial lain, termasuk Twitter dan Snap Inc. (Snapchat).
Tahun lalu, YouTube yang dimiliki Google sempat mendapat sorotan, lantaran sering menayangkan promosi dari pengiklan di video dengan konten tak layak.
YouTube kemudian bereaksi dengan mengubah algoritma, memperketat aturan video seperti apa yang bisa menayangkan iklan, serta menambah supervisi manual atas konten ynag beredar.
Demikian halnya dengan Facebook yang belakangan mengubah algoritma untuk menekan peredaran video viral.
Efeknya, durasi waktu yang dihabiskan pengguna di Facebook menurun, sehingga ikut mengurangi pemasukan Facebook. Namun, pihak Facebook beranggapan hal tersebut akan berdampak baik secara jangka panjang.
Hal tersebut rupanya menjadi perhatian khusus bagi Unilever selaku pemilik aneka merek produk yang giat beriklan lewat jalur digital.
Salah satu pengiklan terbesar di jagat maya itu belakangan bahkan mengancam bakal menarik iklan-iklan mereka dari media sosial, apabila para pengelolanya tak berupaya lebih maksimal untuk menekan peredaran konten tak layak.“Berita palsu, rasisme, seksisme, teroris menyebarkan pesan kebencian, konten beracun yang diarahkan ke anak-anak -apa yang kita temui di internet sekarang melenceng jauh dari harapan,” ujar Chief Marketing Officer Keith Weed, mencontohkan perkara konten-konten bermasalah di medsos.
“Industri media digital harus mendengarkan dan mengambil tindakan,” lanjut Weed, sebagaimana dirangkum dari LA Times, Rabu (14/2/2018).
Tahun lalu, Unilever membelanjakan 9,5 miliar dollar AS (sekitar Rp 129 triliun) untuk mempromosikan berbagai merek miliknya, mulai dari teh Lipton, sabun Dove, hingga es krim Ben & Jerry’s.
Sebanyak 2,4 miliar dollar AS (Rp 3,2 triliun) dari budget promosi tersebut dihabiskan untuk iklan digital.
Google dan Facebook diketahui sebagai pemain terbesar di ranah tersebut. Keduanya diperkirakan menguasai 84 persen dari pasaran iklan online tahun lalu.
Artinya, Google dan Facebook berpotensi kehilangan pendapatan miliaran dollar AS apabila Unilever benar-benar menarik iklannya dari dunia digital.
Lebih lanjut, Weed mengatakan bahwa 2018 “Akan menjadi tahun ‘techlash’ di mana dunia berbalik melawan para raksaa teknologi -beberapa contohnya sudah terjadi - atau tahun kepercayaan, tahun di mana kita bisa membangun kembali kepercayaan secara kolektif terhadap sistem dan masyarakat.”Menanggapi ancaman Weed, pihak Google dan Facebook masing-masing menyatakan mengerti kekhawatiran Unilever terkait konten tak pantas, dan akan berupaya kerja sama untuk menemukan solusi.
Unilever kini sudah memulai diskusi dengan kedua raksasa internet itu, juga dengan para pengelola media sosial lain, termasuk Twitter dan Snap Inc. (Snapchat).
Tahun lalu, YouTube yang dimiliki Google sempat mendapat sorotan, lantaran sering menayangkan promosi dari pengiklan di video dengan konten tak layak.
YouTube kemudian bereaksi dengan mengubah algoritma, memperketat aturan video seperti apa yang bisa menayangkan iklan, serta menambah supervisi manual atas konten ynag beredar.
Demikian halnya dengan Facebook yang belakangan mengubah algoritma untuk menekan peredaran video viral.
Efeknya, durasi waktu yang dihabiskan pengguna di Facebook menurun, sehingga ikut mengurangi pemasukan Facebook. Namun, pihak Facebook beranggapan hal tersebut akan berdampak baik secara jangka panjang.