Awal Februari, Organisasi Kesehatan Internasional (WHO) menyatakan wabah COVID-19 juga menyebabkan “infodemi” (infodemic).
Menurut WHO, infodemi adalah “banjir informasi, baik akurat maupun tidak, yang membuat orang kesulitan menemukan sumber dan panduan tepercaya saat mereka membutuhkannya”.
Infodemi ini yang membuat wabah ini berbeda dari wabah SARS (di tahun 2003), H1N1 (2009), MERS (2012), dan Ebola (2014) –-yang terjadi sebelum misinformasi di media sosial semakin marak.
Pemerintah menyatakan bahwa di Indonesia penyebaran hoaks virus SARS-CoV-2 terbanyak melalui WhatsApp. Memang, WhatsApp adalah jejaring sosial paling banyak digunakan di negara ini setelah YouTube.
WhatsApp mudah digunakan, tanpa iklan, dan tidak memerlukan kapasitas gawai besar; ditambah lagi, pesan di sana tidak bisa dimonitor atau dimoderasi oleh perusahaan WhatsApp (berbeda dengan platform terbuka seperti Facebook atau Twitter). Ini menjadikan WhatsApp saluran subur bagi misinformasi.
Saya melakukan survei untuk melihat pengalaman warga Indonesia di tengah lautan informasi pandemi dan sejauh mana informasi pemerintah memenuhi harapan mereka.
Survei itu menunjukkan bahwa WhatsApp adalah saluran utama warga dalam menerima segala jenis informasi tentang pandemi, baik benar atau hoaks. Sekitar separuh responden juga mengatakan bahwa informasi yang mereka terima sebagian besar hoaks dan merasa pemerintah belum berbuat banyak dalam memberikan informasi.
Pengalaman warga menghadapi infodemi
Saya membuat survei daring, yang tautannya saya bagikan melalui grup WhatsApp dan akun Facebook, Instagram, serta LinkedIn milik saya, yang dibagikan lagi oleh sejumlah orang yang menerimanya (convenience sampling, responden tidak dipilih). Pengumpulan jawaban responden dilakukan pada 28 dan 29 Maret 2020.
Survei sederhana ini terdiri lima pertanyaan, menjangkau 275 responden laki-laki dan perempuan di 45 kota/kabupaten, mulai dari Medan, Jakarta dan kota-kota di sekitar Ibu Kota, Pontianak, Denpasar, Makassar, hingga Jayapura.
Jawaban dari responden mengonfirmasi peran dominan WhatsApp dalam pertukaran informasi antarwarga Indonesia masa kini. WhatsApp adalah saluran teratas responden (37,1%) dalam menerima segala jenis informasi tentang pandemi, sekaligus sebagai saluran utama (78,5%) dalam menerima hoaks tentangnya.
Selain itu, persentase hoaks tinggi (sekitar 50%) di dalam saluran favorit responden. Ini memprihatinkan karena bisa dikatakan separuh informasi yang diterima responen terkait pandemi ini menyesatkan.
Sebagian besar responden (lebih dari 60%) merasa informasi dari pemerintah selama ini belum memenuhi harapan mereka. Lebih dari 60% responden juga ingin menerima pasokan informasi dari pemerintah antara 4-12 kali sehari.
Survei ini tidak menanyakan jenis informasi (info terkini jumlah pasien, kondisi fasilitas kesehatan, kebijakan karantina, dsb) maupun jenis format (teks, video, poster, dsb), sehingga masih banyak ruang yang bisa diungkap tentang preferensi warga ini.
Pasokan informasi terus-menerus
Meski tidak bisa dikatakan mewakili warga Indonesia secara umum, survei di atas (dengan margin of error 6%) setidaknya bisa memberikan gambaran tentang pengalaman dan harapan warga saat ini.
Pemerintah sebagai “panglima” dalam perang melawan pandemi perlu berupaya ekstra meningkatkan mutu dan jumlah pasokan informasi kepada warganya, terutama melalui WhatsApp.
Warga terbiasa memakai WhatsApp untuk menerima informasi, bukan laman resmi atau televisi.
Pemerintah pusat maupun daerah perlu memproduksi informasi terus-menerus kepada warga, tentang kondisi dan kebijakan terkini yang diambil, karena warga menanti update, apa pun itu.
Imbauan supaya “warga hanya percaya informasi dari sumber resmi saja” tidak cukup, jika jumlah dan jangkauan informasi resmi rendah.
Pentingnya format yang sesuai
Informasi resmi dan benar juga perlu disesuaikan dengan kebiasaan pengguna WhatsApp.
Apakah kebanyakan hoaks di WhatsApp berbentuk video? Tidak. Apa berbentuk dokumen pdf berukuran besar? Tidak, karena banyak orang punya kuota internet terbatas dan malas membaca teks panjang. Sebagian besar hoaks COVID-19 berbentuk teks dan meme sederhana.
Selain itu, karakteristik pengguna WhatsApp juga perlu dipertimbangkan. Sebuah riset tentang penggunaan WhatsApp oleh perempuan Indonesia pada 2019 menemukan bahwa para perempuan cenderung mendiamkan misinformasi di grup WhatsApp karena enggan berkonflik dengan anggota grup lain.
Ini adalah tantangan, namun bisa dihadapi, misalnya melalui narasi bahwa isu kesehatan ini sangat dekat dengan perempuan dan keluarga untuk mendorong mereka untuk berbagi informasi (yang akurat dan menarik) untuk melawan wabah dan hoaks.
Informasi untuk masyarakat yang majemuk juga perlu dikemas dalam banyak bahasa yang beragam pula. Sebuah kampanye cegah corona, misalnya, dihadirkan dalam 42 bahasa daerah.
Upaya terbaik yang bisa dilakukan pemerintah dan pihak yang peduli adalah memproduksi informasi yang akurat sesering dan semenarik mungkin di saluran yang paling banyak digunakan –saat ini WhatsApp– supaya warga terdorong membaginya lebih jauh.
Dengan begitu, di dalam infodemi, warga lebih banyak berbagi informasi akurat alih-alih hoaks.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di The Conversation dan suara
Menurut WHO, infodemi adalah “banjir informasi, baik akurat maupun tidak, yang membuat orang kesulitan menemukan sumber dan panduan tepercaya saat mereka membutuhkannya”.
Infodemi ini yang membuat wabah ini berbeda dari wabah SARS (di tahun 2003), H1N1 (2009), MERS (2012), dan Ebola (2014) –-yang terjadi sebelum misinformasi di media sosial semakin marak.
Pemerintah menyatakan bahwa di Indonesia penyebaran hoaks virus SARS-CoV-2 terbanyak melalui WhatsApp. Memang, WhatsApp adalah jejaring sosial paling banyak digunakan di negara ini setelah YouTube.
WhatsApp mudah digunakan, tanpa iklan, dan tidak memerlukan kapasitas gawai besar; ditambah lagi, pesan di sana tidak bisa dimonitor atau dimoderasi oleh perusahaan WhatsApp (berbeda dengan platform terbuka seperti Facebook atau Twitter). Ini menjadikan WhatsApp saluran subur bagi misinformasi.
Saya melakukan survei untuk melihat pengalaman warga Indonesia di tengah lautan informasi pandemi dan sejauh mana informasi pemerintah memenuhi harapan mereka.
Survei itu menunjukkan bahwa WhatsApp adalah saluran utama warga dalam menerima segala jenis informasi tentang pandemi, baik benar atau hoaks. Sekitar separuh responden juga mengatakan bahwa informasi yang mereka terima sebagian besar hoaks dan merasa pemerintah belum berbuat banyak dalam memberikan informasi.
Pengalaman warga menghadapi infodemi
Saya membuat survei daring, yang tautannya saya bagikan melalui grup WhatsApp dan akun Facebook, Instagram, serta LinkedIn milik saya, yang dibagikan lagi oleh sejumlah orang yang menerimanya (convenience sampling, responden tidak dipilih). Pengumpulan jawaban responden dilakukan pada 28 dan 29 Maret 2020.
Survei sederhana ini terdiri lima pertanyaan, menjangkau 275 responden laki-laki dan perempuan di 45 kota/kabupaten, mulai dari Medan, Jakarta dan kota-kota di sekitar Ibu Kota, Pontianak, Denpasar, Makassar, hingga Jayapura.
Jawaban dari responden mengonfirmasi peran dominan WhatsApp dalam pertukaran informasi antarwarga Indonesia masa kini. WhatsApp adalah saluran teratas responden (37,1%) dalam menerima segala jenis informasi tentang pandemi, sekaligus sebagai saluran utama (78,5%) dalam menerima hoaks tentangnya.
Selain itu, persentase hoaks tinggi (sekitar 50%) di dalam saluran favorit responden. Ini memprihatinkan karena bisa dikatakan separuh informasi yang diterima responen terkait pandemi ini menyesatkan.
Sebagian besar responden (lebih dari 60%) merasa informasi dari pemerintah selama ini belum memenuhi harapan mereka. Lebih dari 60% responden juga ingin menerima pasokan informasi dari pemerintah antara 4-12 kali sehari.
Survei ini tidak menanyakan jenis informasi (info terkini jumlah pasien, kondisi fasilitas kesehatan, kebijakan karantina, dsb) maupun jenis format (teks, video, poster, dsb), sehingga masih banyak ruang yang bisa diungkap tentang preferensi warga ini.
Pasokan informasi terus-menerus
Meski tidak bisa dikatakan mewakili warga Indonesia secara umum, survei di atas (dengan margin of error 6%) setidaknya bisa memberikan gambaran tentang pengalaman dan harapan warga saat ini.
Pemerintah sebagai “panglima” dalam perang melawan pandemi perlu berupaya ekstra meningkatkan mutu dan jumlah pasokan informasi kepada warganya, terutama melalui WhatsApp.
Warga terbiasa memakai WhatsApp untuk menerima informasi, bukan laman resmi atau televisi.
Pemerintah pusat maupun daerah perlu memproduksi informasi terus-menerus kepada warga, tentang kondisi dan kebijakan terkini yang diambil, karena warga menanti update, apa pun itu.
Imbauan supaya “warga hanya percaya informasi dari sumber resmi saja” tidak cukup, jika jumlah dan jangkauan informasi resmi rendah.
Pentingnya format yang sesuai
Informasi resmi dan benar juga perlu disesuaikan dengan kebiasaan pengguna WhatsApp.
Apakah kebanyakan hoaks di WhatsApp berbentuk video? Tidak. Apa berbentuk dokumen pdf berukuran besar? Tidak, karena banyak orang punya kuota internet terbatas dan malas membaca teks panjang. Sebagian besar hoaks COVID-19 berbentuk teks dan meme sederhana.
Selain itu, karakteristik pengguna WhatsApp juga perlu dipertimbangkan. Sebuah riset tentang penggunaan WhatsApp oleh perempuan Indonesia pada 2019 menemukan bahwa para perempuan cenderung mendiamkan misinformasi di grup WhatsApp karena enggan berkonflik dengan anggota grup lain.
Ini adalah tantangan, namun bisa dihadapi, misalnya melalui narasi bahwa isu kesehatan ini sangat dekat dengan perempuan dan keluarga untuk mendorong mereka untuk berbagi informasi (yang akurat dan menarik) untuk melawan wabah dan hoaks.
Informasi untuk masyarakat yang majemuk juga perlu dikemas dalam banyak bahasa yang beragam pula. Sebuah kampanye cegah corona, misalnya, dihadirkan dalam 42 bahasa daerah.
Upaya terbaik yang bisa dilakukan pemerintah dan pihak yang peduli adalah memproduksi informasi yang akurat sesering dan semenarik mungkin di saluran yang paling banyak digunakan –saat ini WhatsApp– supaya warga terdorong membaginya lebih jauh.
Dengan begitu, di dalam infodemi, warga lebih banyak berbagi informasi akurat alih-alih hoaks.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di The Conversation dan suara